JIL : Menjual Islam Demi Dolar

JIL : Menjual Islam Demi Dolar
Mei 18, 2008 at 7:51 pm | In politik |

MENJUAL ISLAM DEMI DOLAR
Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA , Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam dengan Sabili
Adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo yang lantang mengemukakan hal ini. Peraih gelar doktor bidang fiqih dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini, tanpa beban, menyatakan ada kepentingan materi di balik munculnya berbagai paham liberal di masyarakat. Demi dolar, itu kata-kata yang tepat untuk sebuah paham yang mengusung liberalisme.
Setelah laporan dari wartawan-wartawan Sabili yang ditugasi mewawancarai sejumlah narasumber terkait paham liberal, masuk ke meja redaksi. Sejumlah fakta dan data dari nara sumber terkait soal dana menjadi jawaban kenapa para pengusung paham liberal acap kali melontarkan pemikiran-pemikiran nyeleneh.

Menurut penerima penghargaan atas prestasi kepemimpinan dan manajemen peningkatan peranan
wanita dari menteri negara peranan wanita RI tahun 1999 ini, tangan-tangan asing menyokong para pengusung paham liberal itu di Indonesia untuk kepentingan mereka.

Berdasar pengamatan mantan anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, selama ini di lapangan, dukungan pihak asing tersebut dilakukan melalui berbagai proyek, seperti pengadaan buku-buku, seminar, lokakarya dan penelitian-penelitian, terutama yang mengusung  pemikiran liberal. “Kalau tidak dari bantuan asing, darimana mereka mencetak buku-buku karyanya,” tandas ibu satu putra yang bernama Syarif Hidayatullah ini.

Lain Prof Huzaemah, lain pula Ketua KISDI Adian Husaini. Cendekiawan Muslim yang baru saja
meraih gelar doktor di salah satu universitas di Malaysia ini mengakui, umat Islam kadang terlambat merespon munculnya paham liberal karena kaum Muslimin menganggap pemikiran dan kajian ilmiah tidak lebih penting dari politik, ekonomi dan lainnya.

“Politik, ekonomi dan lainnya penting, tapi ilmu lebih penting sebab ilmu adalah landasan tegaknya iman. Jika ilmu rusak, akan lahir ulama rusak yang lebih bahaya daripada orang kafir yang rusak,” tandasnya.

Soal menjamurnya paham liberal, Adian mempunyai pandangan sendiri. Menurut Anggota Komisi
Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, paham bebas yang cenderung kebablasan ini akan terus muncul sepanjang masa, sebab ada pihak-pihak yang menjadi produsen, distributor, pengecer dan pengasongnya. Khusus di Indonesia, paham liberal ini mulai hidup sejak tiga puluh tahun lalu. Kalau saat ini paham liberal marak, sangat dapat dimaklumi sebab mereka sedang menuai hasilnya. “Para pendukung pemikiran nyeleneh ini bisa saja dari perorangan, lembaga, bahkan negara,” tandas pengamat politik Islam yang menjadi salah seorang garda terdepan dalam membantah pemikiran-pemikiran liberal ini.

Pendapat dua orang cendekiawan Muslim di atas bisa jadi mewakili sebagian pandangan umat Islam Indonesia. Perihal kepentingan uang di balik munculnya pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia, dapat dicocokkan dengan sejumlah fakta di lapangan.

Pada kata pengantar Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) misalnya, secara gamblang, Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) Pimpinan Musdah Mulia mengucapkan terima kasih pada The Asia Foundation (TAF), sebuah LSM internasional yang acap kali memberikan bantuan dana kepada para NGO lokal. Menurut sejumlah kalangan, sudah barang tentu ucapan terima kasih TPG kepada TAF itu bukan sekadar basa-basi, namun benar-benar ada maksudnya.

Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang pejabat Departemen Agama yang tidak mau disebutkan namanya. Kepada SABILI, pejabat ini menyatakan, untuk mengegolkan CLD KHI, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak enam miliar rupiah. Dana sebesar itu digunakan untuk melakukan penelitian lapangan ke sejumlah daerah. “Dana itu tidak ada yang gratisan,” tandas sumber SABILI itu.

Soal kucuran dana pihak asing tersebut juga diakui sendiri oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004 lalu, Ketua Lakpesdam NU ini mengaku dapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah per tahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.Sayangnya SABILI tidak memperoleh tanggapan soal ini dari Ulil. Saat SABILI mengonfirmasi soal kebenaran dana di atas, pentolan kelompok JIL ini menolak diwawancara. Bahkan saat wartawan SABILI meminta waktu untuk wawancara, Ulil malah menjawab “Saya tidak bersedia diwawancarai SABILI”. Ketika SABILI balik bertanya kenapa ia tidak bersedia diwawancarai, Ulil balik menjawab serupa, “Begini, saya nggak mau diwawancarai SABILI.” Setelah Ulil menjawab itu, telepon pun terputus. Setelah itu, Ulil tidak pernah menjawab meski sekali pun telepon dan sms dari SABILI.

Seorang profesor hukum yang tidak bersedia namanya disebut memaparkan pengalamannya. Saat diundang anggota DPD memberikan masukan soal hukum Islam di DPR beberapa waktu lalu, ia merasakan adanya kepentingan asing di balik paham liberal. Menurut ceritanya, saat kasus revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) mencuat ke permukaan, sejumlah orang dari LSM asing tertentu mendatangi kediamannya. Mereka meminta sang profesor menulis pembaruan KHI dengan imbalan puluhan juta rupiah.

Namun dengan nada halus, sang profesor menolaknya. Tak berhenti sampai di situ. Besoknya, mereka kembali mendatangi sang profesor dan memintanya kembali menulis pembaruan KHI. Tentu saja mereka menyediakan imbalan yang lebih besar lagi. Namun profesor itu kembali menolaknya. Padahal, mereka sudah menyediakan sebuah secarik kertas sebagai kontrak penulisan. “Saya menolaknya karena mencium ada kepentingan tidak baik dalam kontrak tersebut,” katanya.Kepada SABILI, pria yang pernah menikahkan pasangan beda agama Dedi Corbuzier dan Karlina ini menolak bila disebut sebagai anggota JIL pimpinan Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai SABILI, ia berkali-kali menolak disebut aktivis JIL. “Saya harus tegaskan dulu bahwa saya bukan aktivis JIL, tapi kalau saya diminta mengisi oleh JIL, sesuai latar belakang, saya akan mengisi,” kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.

Zainun juga menolak dianggap sektarian. Sebagai seorang akademisi, ia mengaku bisa saja berada di mana-mana, baik di DDII, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya. Bahkan jika para aktivis Ahmadiyah atau Syiah mengundangnya, ia bersedia menghadirinya. “Bukan berarti saya masuk kelompok mereka,” katanya.Untuk menangkal serangan kelompok liberal tersebut, Adian Husaini mengatakan, yang menjadi prioritas utama adalah melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim yang mampu menjawab tantangan pemikiran tersebut, mampu memahami Islam dengan baik dan memahami pemikiran Barat, Kristen, Yahudi dan pemikiran sesat lainnya.

Adian mengutip kisah Sayyidina Umar bin Khaththab ra. Umar menangis bahagia saat seseorang mengritiknya. Adian belum melihat budaya kritik mengritik ini tumbuh di internal umat Islam. Kritik kepada seseorang, menurutnya, masih dinilai sama dengan menjatuhkan. “Ini yang tidak benar. Tradisi kritik ini sulit berkembang jika budaya ilmu tidak berkembang,” tegasnya. Adian boleh jadi benar. Kehancuran Islam bukan disebabkan kuatnya musuh-musuh Islam, tapi lebih disebabkan lemahnya ketahanan internal umat Islam sendiri. Jika umat Islam kokoh, serangan sedahsyat apapun yang datang dari musuh-musuh Islam, tidak akan mudah menjungkirbalikkan posisi umat. Jadi, sudah semestinya, umat Islam terus membentengi diri dengan akidah dan pemahaman Islam yang benar.

Sumber 

2 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

Jambrul mengatakan...

Betul sob...tapi zaman rasul lebih mudah mengenali antara yang bathil & yang haq, mereka kaum musrik menyebar kerusakan dengan kekuasaan dan pedang. sedang zaman sekarang dengan Gozul Fikri( Metode Baru Memerangi Islam ) dengan budaya dan pemikiran yang merusak (target anak muda). meski kita harus terus isiqomah dalam berjuang....